Penyebab Anak Egois dan Cara Mengatasinya

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Egosentrisme adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif milik sendiri dengan perspektif orang lain (Khadijjah, 2016). Egosentris pada tahap praoperasional ini tidak selamanya buruk, karena merupakan proses pendewasaan bagi anak usia dini.

Adapun egosentris menurut (Khadijjah, 2016) dapat ditandai dengan berfikir imanigatif, berbahasa egosentris, memiliki aku (ego) yang tinggi, menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi, dan perkembangan bahasa mulai pesat.

Egosentris merupakan suatu perhatian yang amat berlebihan terhadap diri sendiri sehingga individu merasa bahwa dirinya adalah seorang yang penting dan menjadi tidak peduli dengan dunia luar dirinya (Sejati, 2019).

Selain itu cara berpikir anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis (Ibda, 2015). Namun demikian penggunaan bahasa anak meningkat baik secara lisan maupun tulisan.

Peran orang tua salah satunya adalah selektif dalam bersikap di depan anak. Selain itu sikap orang tua lainnya adalah pandai menempatkan anak dalam lingkungan sekitar, mengajarkan pada anak bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat, jadi hindari sikap mementingkan diri sendiri.

Lalu, apa penyebab sikap egois pada anak? Berikut beberapa faktornya.

1.Belum memahami tentang arti egois

Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa anak-anak tidak benar-benar mengerti apa artinya menjadi egois. Mereka tidak mengerti bahwa apa yang mereka lakukan adalah egois, sehingga mereka juga membutuhkan peran orang tua untuk memperingatkan anak dengan baik.

Jangan sampai anak mengulangi perilakunya karena tidak diperingatkan dan terus tidak disadari.

2. Terbiasa sendiri

Anak-anak tumbuh dengan caranya sendiri, dari cara mereka berperilaku hingga pola pikir yang mereka miliki secara alami. Apalagi bagi anak-anak yang sudah terbiasa memiliki segalanya sendiri, perasaan egois bisa muncul dengan sendirinya, dan mungkin bisa menjadi model pendidikan bagi anak untuk berbagi, yang justru membuat mereka tidak lagi egois.

Yang terpenting adalah peran orang tua dalam membimbing anak-anaknya untuk tampil maksimal. Contoh perilaku egois adalah menjadi jahat atau tidak mau berbagi.

3. Belum Paham Caranya Berbagi

Ini mungkin umum terjadi pada anak-anak. Sebab memang hal itu seakan terjadi dengan alami. Anak-anak yang mempunyai sikap seperti itu hanya tidak paham tentang bagaimana caranya berbagi kepada sesama.

Si kecil akan berpikir jika berbagi akan merugikan nya. Maka dari itu orang tua sebaiknya meluruskan hal tersebut dan mengatakan jika pemikirannya adalah salah.

4. Rasa ketidaksukaan secara natural yang dimiliki anak

Anak adalah sebuah catatan bersih yang mana dari itu kita tidak menyebutkan bahwa anak tak terbiasa berbohong. Dengan kejujuran nya anak akan mengutarakan rasa ketidaksukaannya terhadap sesuatu, dan membuatnya malas untuk melakukan.

Meski pun sikap yang demikian termasuk dalam sifat egois, rasa ketidaksukaan tersebut tercipta secara natural. Orangtua hanya perlu mengarahkan anak agar dapat membedakan mana yang baik dan buruk.

5. Rasa khawatir terhadap sesuatu

Ternyata bukan hanya orang dewasa saja yang secara natural memiliki rasa khawatir terhadap sesuatu. Anak-anak juga memiliki kekhawatiran tersebut sehingga cenderung bersikap egois.

Sikap egois anak cenderung khawatir jika ia akan kehilangan barang jika ia berbagi kepada temannya. Padahal, orang tua selalu menasehati dan mengatakan bahwa tidak baik jika mengkhawatirkan sesuatu secara berlebihan.

Cara mengatasi sikap egois pada anak

1. Ajarkan pentingnya berbagi

Langkah pertama seorang ibu untuk mengatasi ego anaknya adalah dengan mengajarinya arti berbagi. Anak-anak tentu belum memahami pentingnya berbagi konsep.

Oleh karena itu, ibu harus perlahan-lahan menanamkan “nilai” berbagi dan membiasakannya. Bagaimana Anda bisa memberikan contoh sederhana yang mudah dipahami anak-anak.

Misalnya, meminjamkan mainan kepada saudara perempuan yang ingin mencobanya. Tak hanya itu, para ibu bisa mencontohkan anak-anak lain yang berada jauh dari rumah. Misalnya, berganti-ganti wahana dengan anak-anak lain di taman bermain.

2. Mainkan redaman

Ketika anak Anda mulai menjadi egois, atau “membenci”, cobalah mengajaknya bermain. Tapi bukan sembarang game. Pilih permainan yang memungkinkan anak Anda memahami atau memahami perasaan orang lain.

Misalnya ibu berperan sebagai anak yang tidak mau gosok gigi, dan anak berperan sebagai ibu. Cobalah perhatikan bagaimana ia memilih kata dan mengambil sikap.

Bisa jadi sangat lucu dan membuat kalian tertawa satu sama lain. Permainan peran seperti ini bisa membuatnya mengerti bagaimana “kesalnya” dirimu ketika ia tak mau menyikat gigi.

3. Beri tahu orang lain bagaimana perasaan mereka

Para ahli mengatakan bahwa perilaku egois prasekolah sering terjadi pada anak-anak. Anak-anak melakukan ini untuk mendapatkan perhatian orang tua mereka atau orang lain di sekitar mereka.

Yang perlu diingat, kata para ahli, ego seorang anak biasanya muncul saat ia merasa cemburu. Nah, ini adalah saat di mana anak-anak umumnya akan melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan kepada orang yang mereka iri, atau ingin perhatian mereka.

Perilaku tidak menyenangkan ini dapat berkisar dari memukul mereka hingga mengatakan hal-hal yang membuat orang lain merasa tidak nyaman. Anda tidak perlu bingung, cobalah untuk memahami situasi dan berbicara dengan anak Anda.

Anda bisa mulai dengan menjelaskan bahwa orang lain merasa tidak enak dengan sikapnya. Untuk memudahkan anak memahami nasehat ibu, ibu dapat menggunakan metafora.

Misalnya, jelaskan bagaimana perasaannya jika orang lain berperilaku sama padanya.

4. Selalu bijak dalam menghadapi

Memang rasanya tidak menyenangkan jika si kecil yang kita sayangi berubah menjadi bos yang suka memerintah. Orang tua disarankan berhati-hati untuk menghadapi sikap anak yang seperti ini.

Untuk meredam ego bisa dilakukan dalam berbagai cara. Akan tetapi menurut para ahli, kunci dari hal tersebut adalah sebagai orang tua kita tidak putus asa dalam menjelaskan serta membimbing anak dengan bijaksana.

Contoh, ketika Buah Hati bersikeras agar kamu menuruti keinginannya, Anda tak perlu buru-buru untuk menolak, atau mengatakan tidak boleh. Cobalah berkompromi terlebih dahulu dengan dirinya. Ajak dirinya bicara untuk menemukan solusi yang menguntungkan satu sama lain.

Meskipun egosentris anak akan melambung pada masa praoperasional, namun egosentris yang dimunculkan akan berbeda-beda pada setiap anak. Saat masih berusia balita, Anak-anak masih belum menyadari keberadaan orang lain.

Bagi balita, dunianya hanyalah dunia dirinya sendiri. Saat 3 tahun pertama kehidupan nya di dunia, dalam pikirannya hanya tentang dirinya sendiri.

Jika ada orang lain yang ingin masuk ke dunianya, ia akan terusik dan menyebabkan ia akan menjadi lebih egois dan menjauhi orang lain yang ingin masuk ke dunianya.

Nanti seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya usia, ia akan mulai berproses dan mulai menyadari akan kehadiran orang lain. Secara perlahan, mereka pun mulai mau meminjamkan barang kepunyaannya.

mereka akan sadar bahwa ia tidak akan kehilangan barangnya jika berbagi dengan temannya. Justru mereka akan mendapatkan teman dari hal tersebut.

Jika dilihat dari berbagai aspek dalam pergerakan tumbuh berkembangnya dan sesuai ilmu psikologi, egois masuk ke dalam bahasa yaitu egosentrisme.

Efek pengembangan kognitif bagi anak

Pada aspek pengembangan kognitif, kompetensi dan hasil belajar yang diharapkan pada anak adalah anak mampu dan memiliki kemampuan berfikir secara logis,berfikir kritis, dapat memberi alasan, mampu memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab akibat dalam memecahkan masalah yang dihadapi (Yamin & Sanan, 2010).

Selanjutnya kognitif adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati sehingga muncul tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan (Patmodewo, 2003).

Perkembangan kognitif terdiri atas empat tahapan yang masing-masing memiliki perbedaan disetiap prosesnya. Sebagaimana (Khadijjah,2016) menjelaskan tahapan pengembangan kognitif yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkrit, dan tahap operasional formal.

Tahap praoperasional terhitung sejak anak berusia dua sampai tujuh tahun. Pada tahapan ini anak-anak berfikir secara simbolis. Anak memperoleh kemampuan simbolik dengan membayangkan penampilan objek yang ada secara fisik.

Contohnya anak akan sulit membayangkan sapi yang memiliki kaki empat sebaliknya anak akan lebih mudah memahami sapi berkaki empat saat diajak melihat secara langsung.

Namun masih terdapat keterbatasan pada tahap praoperasional yakni egosentrisme anak. Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut:

  • Individu telah mengkombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi
  • Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide
  • Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu pristiwa konkrit, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat
  • Cara berfikir individu bersifat egosentris.

Maka dari itu supaya anak tidak bertumbuh menjadi sosok yang egois, merekapun butuh lingkungan yang mendukung hal tersebut. Dan peran orang tua dalam hal ini dibutuhkan. Sebagai tempat pendidikan pertama anak, orang tua pun wajib memberi teladan atau contoh yang baik.

fbWhatsappTwitterLinkedIn