Jika Anda bertanya siapa orang yang paling berjasa dalam hidup kita, kebanyakan orang membayangkan wajah orang tua kita. Namun, ini tidak berlaku bagi kami. Ada yang bertanya-tanya mengapa kita membenci orang tua kita, bahkan berpura-pura mereka tidak pernah ada. Inilah mengapa kita membenci orang tua kita.
Jika bisa dikatakan inilah kata hati seorang anak kepada orang tuanya :
“Salah satu harapan terbesar kami adalah kami tidak ingin anak-anak kami di masa depan merasa “kehilangan peran orang tua mereka” sementara tubuh mereka masih ada.
Sejujurnya, kami tidak ingin membenci mereka yang mendukung kami. Namun, ketika jiwa kita tumbuh, mereka tidak memberi kita kebutuhan emosional dan sosial. Materi yang mereka kejar memang sepele dibandingkan kehadiran mereka, yang bisa menjadi motivator.”
Secara psikologis, hubungan positif antara anak dan orang tua memungkinkan anak untuk mengembangkan hubungan positif dan beradaptasi dengan baik dengan lingkungan sosial.
1. Gila Kontrol
Di samping sikap yang sering berubah, tanda relasi beracun ibu-anak perempuan lainnya ialah keterlibatan ibu yang terlalu jauh di kehidupan putrinya. Contohnya adalah, seperti dilansir Reader’s Digest, adalah ibu yang begitu berniat berteman dengan sahabat-sahabat anaknya.
Alih-alih memberikan privasi, sikap ibu yang seperti ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi yang meresahkan putrinya. Memang ada ibu-ibu yang ingin tampak bersahabat atau gaul di mata anaknya, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, putrinya potensial dijauhi teman-temannya karena mereka merasa tidak leluasa beraktivitas sebagaimana anak-anak seumurnya.
Terkait privasi, contoh lain sikap ibu yang mengganggu adalah mengorek informasi personal putrinya. Hal ini dikemukakan oleh Dhilla (25) yang menyatakan ibunya dulu sempat membaca-baca buku hariannya.
Selain itu, upaya untuk masuk ke kehidupan anak yang berlebihan juga dilakukan dengan cara ibu mengambil alih semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan si anak. Ibu yang seperti ini yakin bahwa si anak belum mampu independen atau bertanggung jawab atas keputusannya. Ini juga digolongkan sebagai bentuk relasi ibu-anak yang beracun menurut Dr. Barbara Greenberg, psikolog anak dan keluarga di Connecticut.
“Melakukan segalanya untuk anak-anak memberi pesan bahwa Anda tidak merasa mereka kompeten serta mencegah mereka mengembangkan kemampuan-kemampuannya,” ujarnya.
Saat berhadapan dengan ibu yang gila kontrol, bukan hanya anak akan berkembang menjadi sosok peragu lantaran masalahnya biasanya ditangani ibunya. Ia juga potensial mengalami masalah kepercayaan dan memiliki penilaian diri yang minim.
2. Tak Acuh, Meremehkan, dan Membanding-bandingkan
Apakah Anda pernah mendapati sikap ibu yang sering kali tak acuh, meremehkan, atau senang membanding-bandingkan? Lagi, menurut Streep, hal ini merupakan indikasi lain relasi beracun ibu-anak perempuan. Coba tengok testimoni Maria Agnes (24) berikut.
“Macam-macam pencapaian saya selama ini seperti nggak ada artinya untuk Ibu. Kalau saudara-saudara yang lain punya prestasi, pasti dia ceritakan itu ke saya, terus dia bilang, ‘Kok kamu nggak bisa kayak mereka?’”
Di lain waktu, ibu Maria juga kerap menganggap putrinya berlebihan. Misalnya saat Maria bercerita ia tak mau berhubungan dengan kakek nenek dari keluarga ayahnya karena khawatir menjadi terlalu dekat dan ambruk saat mereka meninggal. Maria saat itu menangis karena tak bisa mengungkapkan betapa takut dan cemasnya ia, dan reaksi sang ibu adalah menyebutnya “lebay.”
“Atau waktu saya demam panggung saat masih kecil dan nangis-nangis karenanya, Ibu lagi-lagi bilang saya lebay. ‘Ngapain takut, di depan teman-teman sendiri juga?’ kata dia begitu.”
Dari waktu ke waktu, catatan Maria tentang sikap Ibu yang kurang suportif, bahkan cenderung melemahkan mental anak, terus bertambah. Saat dewasa ia menyadari, ada gangguan psikis yang kerap menghambat perkembangan dalam hidupnya.
“Anxiety disorder saya dari situ [perlakuan Ibu] sepertinya. Saya sempat benci sama dia. Saya jadi enggak berani menunjukkan emosi apa pun di depannya, takut menikah, takut punya anak, iri dengan abang kandung atau adik-adik tiri saya. Lalu, karena ada sikap menghakimi dari Ibu, saya jadi grogi parah ketika Ibu menonton lomba-lomba yang saya ikuti. Sementara kalau Ibu tidak menonton, saya jadi juara. Sampai sekarang juga, saya enggak mau bilang kalau ikut lomba apa pun.”
3. Perlakuan yang Timpang Kepada Anak yang Lain
Bukan hanya membanding-bandingkan, ibu beracun pun kerap kali memperlakukan anak-anaknya dengan cara tak sama. Menurut beberapa saksi, perlakuan ibunya terhadap anak laki-laki cenderung lebih cuek ketika mereka berulah.
Hal ini dikarenakan adanya stigma bahwa sah-sah saja laki-laki badung dan berani membangkang, sedangkan perempuan masih sering dilekatkan dengan anggapan semestinya bersikap penurut, pasif, dan tak badung.
“Abang saya ketahuan merokok, Ibu enggak mempermasalahkan. Sedangkan begitu dia tahu saya merokok, marahnya seperti saya baru zina dengan 10 laki-laki. Padahal, ibu saya sendiri juga merokok. Lalu, soal keluar malam. Sebelum usia 21, saya enggak boleh ke mana-mana melebihi jam malam yang dia tetapkan. Sementara abang saya, sejak kuliah pun sudah dilepas Ibu saat dia bilang mau ngekos. Padahal, masih memungkinkan buatnya untuk pulang-pergi kampus-rumah setiap hari karena jaraknya enggak begitu jauh.” Tutur salah satu saksi yang curhat di salah satu media
4. Tak Segan Melakukan Kekerasan Fisik
Tanda paling kentara dari relasi ibu-anak perempuan yang beracun adalah adanya kekerasan fisik di samping verbal atau psikologis. Survei Kekerasan terhadap Anak Indonesia yang dirilis Kementerian Sosial tahun 2013 menunjukkan, kekerasan fisik dan emosional pada anak perempuan cenderung dilakukan oleh ibu. Hal ini terlihat dari 66,34 persen anak perempuan mendapatkan kekerasan fisik dari ibu dan 49,81 persen dari mereka merasakan pula kekerasan emosional dari sosok yang sama.
Bagaimana efek kekerasan dari ibu yang dihadapi anak perempuan?
Menurut Oshio dan Umeda (2016) yang meneliti tentang kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua berjenis kelamin sama dengan si anak, perilaku bermasalah seorang anak perempuan di kemudian hari lebih terkait dengan kekerasan yang sempat dialaminya dari ibu dibanding dari ayah.