Autisme seringkali disalah artikan sebagai salah satu penyakit gangguna jiwa oleh sebagain besar masyarakat awam. Penyataan tersebut merupakan kondisi ketidaktahuan masyarakan terhadap arti sebernarnya dari penyakit autisme pada anak anak. Autisme merupakan suatu gangguan yang terjadi pada perkembangan fungsi otak manusia dan berpengaruh terhadap perilaku penyandang sehari-hari. Kondisi autisme ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dijelaskan dibawah ini.
- Faktor Usia orang tua, usia orang tua merupakan salah satu faktor utama yang dapat menjadi penyebab terjadinya autisme pada anak anak. Semakin tua seorang ibu menjalani proses kehamilan didukung juga dengan usia ayah yang juga tua dapat meningkatkan resiko terjadinya autisme.
- Faktor genetik, faktor genetik merupakan salah satu faktor yang lebih berperan menjadi penyebab dalam kondisi autisme pada anak. Orang tua yang memiliki sanak saudara mengalami autisme dapat memiliki resiko lebih besar menyebabkan terjadinya autisme pada anaknya terutama jika sanak saudara penyandang autis tersebut merupakan kerabat yang sangat dekat garis keturunannya.
- Faktor penyakit yang diderita orang tua, sebuah studi menjelaskan bahwa beberapa penyakit sebelum hamil dan gangguan kehamilan dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya autisme seperti infeksi rubella, toksoplasma, dan sitomegalovirus.
- Infeksi dan kelainan bawaan pada bayi, adanya infeksi setelah proses melahirkan normal maupun caesar pada bayi seperti ensefalopati, meningitis, serta kelainan bawaan seperti tuberous sclerosis, dan kelainan syarat merupakan salah satu penyebab terjadinya autisme.
Penyebab yang disebutkan tersebut merupakan salah satu kondisi utama yang dapat memicu resiko autisme lebih tinggi yang setiap tahun peyandangnya selalu mengalami peningkatan. Gejala anak autis ringan maupun berat di tahap awal biasanya ditunjukan dengan kondisi dimana seorang anak akan sulit berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain serta menunjukan perilaku yang tidak semestinya dilakukan pada anak seusianya. Penyandang autisme biasanya akan memiliki dunia berbeda dengan anak normal pada umumnya termasuk makanan yang dikonsumsi. Pola asuh anak autis juga harus dilakukan dengan benar serta berbeda dibandingkan dengan anak normal pada umunya termasuk dengan melaukan diet anak autis yang dijelaskan pada ulasan dibawah ini.
Manfaat diet anak autis
Diet pada anak autis atau yang disebut dengan istilah diet GFCF (Glutein free – kasein free) merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan seorang penyandang autis untuk berprilaku tidak wajar. Selain mengurangi anak penyandang autis untuk berperilaku tidak wajar, diet tersebut juga membantu memperlancar pencernaannya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa dengan melakukan diet GFCF ini maka seorang anak penyandang autis dapat berperilaku lebih positif dari sebelumnya termasuk sebagai salah satu cara mengatasi anak autis yang marah.
Penerapan diet pada anak penyandang autis juga dapat membantu mengatasi masalah pola makannya yang cenderung bersifat idiosyncratic atau pola makan yang tidak biasa. Pola makan yang tidak biasa pada penyandang autis tersebut seperti suka memilih milih makanan, menolak untuk makan, tidak suka makanan baru, tantrum atau gerakan mengunyah yang pelan sehingga menjadikan sebuah masalah kekurangan gizi.
Cara melakukan diet pada anak autis
Diet GFCF secara prinsip dilakukan dengan cara menghindarkan anak autis dari makanan yang mengandung glutein dan kasein untuk dikonsumsi sehingga dapat menghilangkan gejala autis, menghentikan atau menunda degeneratif yang berlangsung serta meningkatkan kualitas hidup dan pemenuhan gizi pada penyandang autis. Glutein dan kasein ini dihindari karena tidak dapat dicerna dengan baik oleh sistem pencernaan penyandang autis.
Makanan yang memiliki kandungan glutein dan sebaiknya dihindari adalah makanan yang berbahan tepung terigu seperti biskuit, gorengan, wafer, ayam goreng dan sebagainnya. Sedangkan makanan yang memiliki kandungan kasein adalah makanan yang berbahan susu seperti ice cream, susu kemasan, yogurt, dan keju. Kedua makanan tersebut harus benar benar dihindari agar tidak membentuk senyawa kaseomorfin dan gluteomorfin yang dapat menyebabkan gangguan prilaku.
Resiko penerapan diet GFCF pada anak autis
Secara umum meskipun belum ditemukan bukti ilmiah yang menyatakan efektifitas dari diet GFCF terhadap perbaikan kondisi autisme pada anak, sekitar 65% orang tua yang menjalankan sistem diet tersebut melaporkan bahwa ada dampak positif terhadap perubahan prilaku yang semakin membaik. Secara resiko, tidak banyak dampak buruk yang dihasilkan dari program diet pada anak autis ini selian kerepotan yang harus ditanggung oleh orang tua.
Untuk menjalankan program diet ini maka setiap orang tua harus memiliki wawasan yang luas mengenai berbagai macam bahan yang tidak mengandung glutein serta kasein yang boleh dikonsumsi oleh penyandang autis. Orang tua juga akan merasakan beban untuk dapat secara konsisiten menerapkan diet GFCF ini pada anak autis karena kondisi pola makan autis yang sulit untuk diatur serta sering semaunya sendiri.
Itulah beberapa kalimat ulasan mengenai diet GFCF yang dapat diterapkan pada anak dengan kondisi autisme. Kondisi autis memang merupakan keadaan yang tidak diinginkan oleh sebagian besar orang tua, namun keadaan ini harus dapat diterima dengan tetap memberikan kasih sayang dan perhatian terhadap anak yang telah terdiagnosisi menderita autis.